adjar.id - Perang Padri merupakan salah satu peristiwa bersejarah di Indonesia.
Perang Padri melibatkan kelompok ulama yang disebut dengan Kaum Padri dengan kaum adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung, Adjarian.
Perang Padri terjadi pada tahun 1803 sampai tahun 1838 di wilayah Kerajaan Pagaruyung, Sumatra Barat.
Awalnya, Perang Padri ini merupakan perang saudara yang kemudian berakhir dengan perang melawan pemerintahan Kolonial Belanda.
Tokoh penting dalam peristiwa Perang Padri ini salah satunya adalah Tuanku Imam Bonjol.
Penyebab dari adanya Perang Padri ini karena Kaum Padri ingin mengubah kebiasaan buruk masyarakat kaum adat.
Nah, seperti apa kronologi terjadinya Perang Padri?
"Perang Padri mulanya terjadi karena perbedaan prinsip tentang ajaran agama dari Kaum Padri dan kaum adat."
Kronologi Perang Padri
Perang Padri meletus pada tahun 1803 setelah Kaum Padri melakukan berbagai cara untuk mengajak masyarakat adat agar meninggalkan perbuatan maksiat dan mengikuti syariat Islam.
Puncak dari Perang Padri atau perang saudara ini terjadi di tahun 1815, Adjarian.
Kaum Padri yang ada di bawah kepemimpinan Tuanku Pasaman melakukan penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung yang menyebabkan terjadinya peperangan di Kota Tangah.
Baca Juga: Penyebab dan Dampak Perang Padri
Serangan Kaum Padri ini membuat Sultan Arifin Muningsyah terpaksa harus menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.
Hal ini yang membuat Kaum Padri berhasil menekan kaum adat.
Kaum Padri dipimpin oleh Harimau nan Salapan yang berisikan:
- Tuangku Nan Renceh.
- Tuanku Pasaman.
- Tuangku Tambusai.
- Tuanku Rao.
- Tuanku Pandai Sikek.
- Tuangku Mansiangan.
- Tuanku Barumun.
Kepemimpinan Harimau nan Salapan ini hampir membawa Kaum Padri pada kemenangan dalam perang.
Baca Juga: Latar Belakang dan Jalannya Perang Tondano II
Akan tetapi di tahun 1821, kaum adat yang mulai terdesak meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff pada 4 Maret 1822 berhasil memukul mundur Kaum Padri dari Pagaruyung.
Belanda kemudian membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen.
Di sisi lain, Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.
Pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam pada tanggal 10 Juli 1822 dihadang oleh Kaum Padri.
Meski begitu, pasukan Belanda tetap berhasil terus maju sampai ke Luhak Agam.
Pada September 1822, pasukan Belanda dipaksa kembali ke Batusangkar karena terus mengalami tekanan oleh serangan yang dilakukan Kaum Padri.
Setelah mendapatkan tambahan pasukan, pada tanggal 13 April 1823 Letnan Kolonel Raaff mencoba untuk kembali menyerang Lintau.
Akan tetapi, dengan gigih Kaum Padri tetap melakukan perlawanan, sehingga Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar pada 16 April 1823.
Pada 15 November 1925, disepakatilah Perjanjian Masang, yaitu periode gencatan senjata antara Kaum Padri di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol dengan Belanda.
Hal ini dilakukan Belanda karena posisi pemerintah Hindia Belanda sedang kewalahan menghadapi berbagai perang di Jawa dan Eropa.
Baca Juga: Latar Belakang dan Bentuk Perlawanan Bali kepada Belanda
Peperangan itu jugalah yang menguras dana dari pemerintah Hindia Belanda.
Hingga akhirnya muncul satu kesepakatan yang dikenal dengan Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar.
Bunyi kepekatan ini, yaitu "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah".
Artinya, adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Hal ini juga menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau, Adjarian.
Perang saudara yang telah terjadi sejak tahun 1803 sampai tahun 1821 dan sudah merugikan kedua belah pihak akhirnya berakhir.
Berakhirnya Perang Diponegoro berhasil mengembalikan kekuatan Belanda yang ingin kembali menundukkan Kaum Padri.
Keinginan Belanda ini juga dilandasi karena kemauan mereka untuk mengusai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau.
Belanda kemudian melanggar perjanjian yang sudah dibuat sebelumnya dengan melakukan penyerangan ke nagari Pandai Sikek.
Nagari Pandai Sikek merupakan daerah yang dapat memproduksi senjata api dan mesiu.
Untuk memperkuat kedudukannya di Bukittinggi, Belanda kemudian membangun benteng Fort de Kock.
Baca Juga: Penyebab dan Dampak Perang Pattimura
Kaum Padri dan kaum adat yang sudah bersatu kemudian pada tanggal 11 Januari 1833 melakukan penyerangan ke beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda.
Belanda yang telah menyadari bahwa keadaan berubah kemudian mengeluarkan Plakat Panjang.
Plakat Panjang ini berisikan pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari itu, tetapi untuk menjaga keamanan dan berdagang.
Alasan Belanda yang ingin menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah memerlukan biaya besar.
Maka dari itu, penduduk setempat diwajibkan untuk menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda.
Secara perlahan, Belanda menyusup dan melakukan penyerangan, sampai akhirnya di tahun 1837 benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda.
Bahkan, Tuangku Imam Bonjol berhasil tertipu dan ditangkap oleh Belanda.
Peperangan terus terjadi sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu di bawah pimpinan Tuangku Tambusai berhasil dikuasai Belanda pada tahun 1838.
Perang Padri akhirnya dianggap selesai dengan kemenangan bagi pihak Kolonial Belanda.
Tuan Tambusai dan sisa-sisa pengikutnya dipaksa harus pindah ke Negeri Sembilan di Semananjung Malaya.
Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian dari Pax Neteherlandica yang berada di bawah kendali Hindia Belanda.
Baca Juga: 3 Kebijakan VOC di Bidang Pemerintahan saat Menjajah Indonesia
"Perang Padri awalnya terjadi karena perselisihan antara Kaum Padri dan kaum adat yang kemudian melibatkan pemerintah Kolonial Belanda."
Nah, itulah kronologi terjadinya Perang Padri di Sumatra Barat, Adjarian.
Coba Jawab! |
Mengapa Perang Padri bisa terjadi? |
Petunjuk: Cek halaman 1. |
---
Sumber: Buku Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 1 Edisi Revisi 2017 karya Sardiman AM dan Amurwani Dwi Lestariningsih.