adjar.id – Dalam buku Sejarah Indonesia kelas 11 semester 1 edisi revisi 2017, terdapat soal Latih Uji Kompetensi di halaman 152.
Pada soal tersebut kita diminta untuk menjelaskan maksud Hukum Tawan Karang dan alasan Belanda menentang hukum tersebut.
Nah, kali ini kita akan membahas salah satu soal Latih Uji Kompetensi tersebut, Adjarian.
Hukum Tawan Karang terjadi di Bali pada abad ke-19.
Pada saat itu, di Bali sudah berkembang banyak kerajaan yang berdaulat, seperti Kerajaan Buleleng, Klungkung, Gianyar, Tabanan, Karangasem, dan sebagainya.
Pada masa Pemerintahan Gubernur Jendral Daendels, pemerintah kolonial Belanda mulai menjalin kontrak kerja sama dengan kerjaaan-kerajaan di Bali.
Kontrak tersebut tidak hanya tentang urusan dagang, tetapi juga menyangkut sewa-menyewa orang-orang bali untuk menjadi tentara pemerintah Hindia Belanda.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan menguasai Bali.
Hingga akhirnya, dicapai perjanjian politik antara raja-raja di Bali dengan pemerintah Hindia Belanda.
Perjanjian tersebut berisikan tentang penentangan Belanda terhadap Hukum Tawan Karang yang diberlakukan di Bali.
Apa itu Hukum Tawan Karang?
Baca Juga: Jawab Soal Latar Belakang dan Sebab-Sebab Terjadinya Perang Banjar
Pengertian Hukum Tawan Karang
Hukum Tawan Karang adalah hukum yang memberikan hak kepada raja-raja untuk menguasai kapal dan juga isinya yang terdampar di wilayah kerajaan.
Hukum Tawan Karang ini sudah menjadi hukum adat di bidang maritim dan sudah dilaksanakan oleh raja-raja Bali dan Lombok sejak berabad-abad lalu.
Jadi, Hukum Tawan Karang ini memberikan hak bagi penguasa kerajaan Bali untuk menguasai dan menawan seluruh isi kapal-kapal asing yang terdampar di perairan Bali.
Hukum ini memberikan wewenang bagi para penduduk yang berada di tepi pantai untuk menawan kapal-kapal yang kandas berserta seluruh isi muatannya.
Selain itu para penumpang-penumpang kapal juga boleh diperbudak oleh penduduk di sana.
Nah, untuk menghindari adanya permasalahan, raja-raja di Bali dan Lombok membentuk suatu perjanjian dalam penerapan Hukum Tawan Karang ini.
Dalam peraturan tersebut, disepakati bahwa raja tempat kapal terdampar harus memberi tahu raja dari tempat asal perahu.
Raja dari asal perahu akan diberikan waktu tenggang selama 25 hari untuk membayar uang tebusan sesuai penjanjian.
Jika tebusan tidak dibayar tepat waktu, maka penumpang dan separuh muatan perahu atau kapal bisa dirampas dan diberikan kepada raja daerah pantai tersebut.
Sementara separuh isi muatan kapal tersebut akan menjadi milik para penduduk pantai tempat kapal terdampar.
Baca Juga: Jawab Soal Alasan Pemerintahan Hindia Belanda Melaksanakan Tanam Paksa
Bagi pihak di luar perjanjian tersebut, tidak akan mendapatkan keringanan seperti yang tertera dalam perjanjian tersebut.
Hal inilah yang kemudian membuat Belanda merasa terusik dan menuntut penguasa Bali untuk menghapus Hukum Tawan Karang.
Alasan Belanda Menentang Hukum Tawan Karang
Belanda menentang adanya Hukum Tawan Karang karena merasa terancam dengan kapal Belanda yang terdampar di Bali.
Belanda takut isi muatan kapal akan menjadi milik raja-raja Bali karena memang kapal Belanda sering menjadi korban dari Hukum Tawan Karang.
Salah satunya san Van den Broeke pergi ke Bali bersama rombongannya pada tahun 1817 untuk mendirikan pangkalan dagang.
Pada 16 Februari 1818, Broke melaporkan bahwa barang yang seharusnya dikirim ke Buleleng tidak pernah sampai ke tujuan.
Hal ini terjadi karena muatan kapal Belanda ini dirampas oleh penguasa di Badung karena kapal Belanda terdampar di sana.
Kejadian tersebut berlangsung berkali-kali dan membuat Belanda marah karena perdagangannya terancam.
Oleh karena itu, Belanda meminta penghapusan Hukum Tawan Karang.
Nah, itulah pembahasan soal alasan Belanda menentang Hukum Tawan Karang, Adjarian.