Dalam konteks sosiologi, penyimpangan sekunder sering kali mengacu pada tindakan yang melanggar norma-norma sosial yang lebih luas.
Selain itu, penyimpangan sekunder juga bisa mengacu pada pelanggaran hukum yang telah ditetapkan oleh masyarakat.
Norma-norma sosial ini mencakup aturan-aturan yang mengatur perilaku sehari-hari, seperti etika, sopan santun, norma-norma agama, dan hukum.
Ketika seseorang melanggar norma-norma ini, mereka dianggap melakukan penyimpangan sekunder.
Nah, tindakan yang termasuk dalam bentuk penyimpangan sekunder tidak hanya dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan dewasa, lo.
Anak-anak juga dapat melakukan penyimpangan sekunder ini.
Pada beberapa kasus, penyimpangan sekunder juga dapat merujuk pada respons individu tentang label negatif yang diberikan oleh masyarakat.
Misalnya, ketika seseorang diberi label sebagai penjahat oleh masyarakat, mereka mungkin merasa terasing atau dijauhi.
Sebagai respons, individu itu dapat mengadopsi perilaku yang sesuai dengan label tersebut, dan ini dianggap sebagai penyimpangan sekunder.
"Penyimpangan sekunder adalah penyimpangan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, sering dilakukan, dan tidak dapat ditoleransi perbuatannya."
Ciri utama dari penyimpangan sekunder adalah munculnya tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat.
Baca Juga: Dampak Perilaku Menyimpang bagi Diri Sendiri dan Masyarakat
Penulis | : | Nabil Adlani |
Editor | : | Rahwiku Mahanani |
KOMENTAR