Selain akademi, juga berdiri beberapa universitas baru pada masa demokrasi parlementer, seperti Universitas Sumatra Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Airlangga (Surabaya), dan Universitas Hasanuddin (Makassar).
Kesenian di Indonesia pada masa demokrasi parlementer juga mulai bergejolak, Adjarian.
Hal tersebut dibuktikan dengan muncul berbagai organisasi yang berhubungan dengan seni khususnya seni lukis.
Organisasi tersebut, seperti organisasi Pelukis Indonesia (PI) dan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI).
Selain organisasi, juga berdiri akademi yang berhubungan dengan seni, yaitu Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta.
Selain berkembangnya pendidikan dalam bidang kesenian dan teknik, karya sastra Indonesia tahun 1950-an juga mulai berkembang.
Pada saat itu, tema kegetiran pada zaman revolusi dan perang kemerdekaan menjadi tema yang sering diusung oleh para sastrawan.
Sastrawan Indonesia yang besar pada era 50-an, antara lain Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Abdoel Mulis.
Para sastrawan bebas memanfaatkan kreativitasnya dan mengangkat berbagai masalah yang ada di Indonesia.
Melalui karya-karyanya, para sastrawan berusaha untuk menumbuhkan nilai kepahlawanan dan semangat kebangsaan masyarakat Indonesia.
Sastra menjadi wadah yang baik untuk menyalurkan aspirasi tersebut pada masa demokrasi parlementer.
Baca Juga: Makna Demokrasi dan Klasifikasinya dalam Pemerintahan
Nah, demikianlah ciri kehidupan masyarakat Indonesia pada masa demokrasi parlementer.
Coba Jawab! |
Apa dampak gejolak politik terhadap kehidupan masyarakat pada masa demokrasi parlementer? |
Petunjuk: Cek halaman 1. |
Tonton video ini juga, yuk!
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Aldita Prafitasari |
Editor | : | Rahwiku Mahanani |
KOMENTAR