adjar.id – Kali ini, kita akan membahas mengenai Dewi Sartika sang pahlawan emansipasi perempuan, Adjarian.
Nama Dewi Sartika pasti sudah sangat familiar bagi kita semua. Ia sering kali dibahas saat sedang mempelajari sejarah di sekolah.
Bangga akan perjuangannya, nama beliau dijadikan nama jalan di beberapa kota besar di Indonesia, lo!
O iya, ia dikenal sebagai salah satu tokoh perempuan di masa kolonial Hindia-Belanda.
Ia merupakan sosok pejuang emansipasi perempuan, terutama pada bidang pendidikan karena melihat pendidikan yang diterima perempuan saat itu sangatlah terbatas.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ia berhasil mendirikan sekolah yang tetap lestari hingga saat ini. Saat ini, sekolah tersebut bernama SD dan SMP Swasta Dewi Sartika yang bersemayam di Kota Bandung.
Dewi Sartika merupakan sosok pahlawan perempua yang patut untuk diteladani, seolah-olah menjadi pengingat kita untuk terus belajar.
Bagaimana perjuangan Dewi Sartika dalam memperjuangkan emansipasi perempuan?
Yuk, simak informasi lengkapnya berikut ini!
Baca Juga: Perjuangan Bung Tomo, Pahlawan di Balik Pertempuran 10 November 1945
Masa Muda Dewi Sartika
Dewi Sartika lahir dari pasangan keluarga ternama di tanah Sunda, yaitu Raden Rangga Somanegara dan R.A. Rajapermas, pada 4 Desember 1948.
Ayahnya termasuk seorang priayi atau golongan terhormat yang menyekolahkan putra-putrinya, termasuk Dewi Sartika.
Meski demikian, Dewi hanya sempat belajar di Sekolah Kelas Satu atau Eereste Klasse School untuk penduduk non-Eropa sampai kelas dua.
Kemudian, Raden Somanegara diasingkan ke Ternate oleh pemerintah kolonial atas tuduhan terlibat dalam sabotase di dalam acara pacuan kuda yang diselenggarakan di Tegallega, pada 1893.
Ia terlibat tuduhan untuk mencelakai bupati Bandung, R.A.A. Martanegara.
Karena kasus tersebut, Dewi akhirnya tinggal bersama pamannya, raden Deman Suria Kartadiningrat. Pamannya juga memiliki jabatan sebagai seorang Patih Cicalengka.
Meskipun menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda, akan tetapi, Dewi disambut dingin dan diperlakukan berbeda.
Ia banyak diberikan pekerjaan rumah dan juga harus menetap di kamar belakang.
Baca Juga: Bentuk Keteladanan Pahlawan Revolusi Nasional Jenderal Sudirman
Paman Dewi memberi perlakuan tersebut atas hukuman yang diterima ayahnya karena dianggap sebagai aib, mengingat keluarganya merupakan keluarga terpandang.
Perjuangan Dewi Sartika
Kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda mengalami kemunduran dikarenakan beberapa faktor.
Pertama, pada zaman pemerintahan Kerajaan Mataram berkembang sistem feodalisme. Feodalisme merupakan struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan.
Sistem feodalisme pada pemerintahan Kerajaan Mataram menempatkan istri, sebagai lambang status seorang pria.
Kedua, kedatangan agama Islam yang menimbulkan banyak perbedaan perspektif mengenai perempuan dalam Islam.
Ketiga adalah faktor pernikahan. Pada masa itu, banyak terjadi pernikahan yang dilakukan secara paksa.
Semenjak saat itu, timbul tradisi yang terus mengekang kaum peremuan.
Atas adanya kekangan terhadap kaum perempuan, hal ini meningkatkan tekad Dewi Sartika untuk melakukan emansipasi perempuan.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran 10 November yang Diperingati Sebagai Hari Pahlawan
Ia kemudian memiliki keinginan untuk mendirikan sekolah khusus perempuan.
Pada 1902 silam, Dewi Sartika kembali ke Bandung, ia pun menyayangkan kehidupan di Cicalengka yang dianggap tidak memberi kemajuan untuk cita-cita mulianya.
Hal ini pun menimbulkan keberanian bagi Dewi Sartika untuk bertemu dengan Bupati Bandung, untuk meminta izin mendirikan sekolah bagi khusus perempuan.
Bupati Bandung pun menyetujui permintaannya, dengan syarat sekolah tersebut didirikan di Pendopo Kabupaten Bandung.
Pada 16 Januari 1904, sekolah pertama milik Dewi Sartika diberi nama Sakola Istri resmi didirikan.
Di dalam sekolah tersebut, ia memiliki jabatan sebagai tenaga pendidik yang bertujuan untuk mengajarkan perempuan membaca, menulis, berhitung, serta keterampilan lainnya.
Nah Adjarian, itulah sejarah perjuangan Dewi Sartika yang berhasil mendirikan sekolah pertama untuk perempuan di Indonesia, ya!
Saksikan video di bawah ini juga, yuk!
Penulis | : | Jestica Anna |
Editor | : | Aisha Amira |
KOMENTAR