adjar.id - Indonesia pernah melakukan perundingan dengan Belanda untuk memperoleh pengakuan kedaulatan, salah satunya melalui Perjanjian Linggarjati.
Perjanjian Linggarjati merupakan bentuk usaha pemerintah Indonesia melalui jalan diplomatik.
Perjanjian ini melibatkan pihak Indonesia, Belanda, dan Inggris sebagai penengah.
Wakil Indonesia dalam perjanjian tersebut adalah Sutan Sjahrir yang merupakan perdana menteri Indonesia saat itu.
Sementara Belanda diwakilkan oleh Dr. H.J. Van Mook yang merupakan orang Belanda yang lahir di Indonesia.
Sebelum Perundingan Linggarjati, sudah pernah dilakukan beberapa kali perundingan yang dilaksanakan di Jakarta dan Belanda.
Tetapi, usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi harapan, baik bagi pihak Indonesia maupun Belanda.
Usaha tersebut mengalami kegagalan karena masing-masing pihak memiliki pendapat berbeda.
Berlangsungnya Perundingan Linggarjati dilakukan melalui beberapa rangkaian.
Yuk, kita cari tahu!
"Perundingan Linggarjati dilakukan Indonesia untuk bisa mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda."
Baca Juga: Perlawanan Rakyat Indonesia setelah Kedatangan Sekutu dan Belanda
Rangkaian Perjanjian Linggarjati
Berikut rangkaian Perjanjian Linggarjati yang dilakukan Indonesia dalam upaya diplomasi dengan Belanda:
1. Perundingan Awal di Jakarta
Pada 1 Oktober 1945, diadakan perundingan antara pihak Indonesia dengan Christison dari Inggris.
Dalam perundingan tersebut, Christison mengakui Republik Indonesia secara de facto.
Hal ini jugalah yang kemudian memperlancar gerakan masuknya Sekutu ke wilayah-wilayah di Indonesia.
Kemudian pada 10 Februari 1946 dilakukan perundingan Indonesia dengan Belanda di Jakarta.
Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan beberapa usulan yang membuat pemerintah Indonesia mengajukan usul balasan.
Akan tetapi, usulan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia melalui Sultan Sjahrir ditolak oleh Van Mook.
Van Mook mengajukan usul tentang pengakuan Republik Indonesia sebagai wakil Jawa sebagai bentuk jalan keluar.
Tujuannya adalah untuk mengadakan kerja sama dalam upaya membentuk negara federal yang bebas dari lingkungan Kerajaan Belanda.
Baca Juga: Sejarah Kedatangan Sekutu dan Belanda di Awal Kemerdekaan Indonesia
Pada 27 Maret 1946, Sjahrir kembali memberikan jawaban atas saran Van Mook.
Usulan yang diberikan sudah sampai saling mendekati kompromi sehingga usaha perundingan perlu ditingkatkan.
"Perundingan awal di Jakarta terjadi antara Van Mook dan Sjahrir sebagai kelanjutan pengakuan kedaulatan Indonesia yang dikeluarkan Christison."
2. Perundingan Hooge Veluwe
Perundingan kemudian dilanjutkan di negeri Belanda, tepatnya di Kota Hooge Veluwe di bulan April 1946.
Pokok pembicaraan dalam perundingan tersebut adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta oleh Sjahrir dan Van Mook.
Inggris yang bertugas sebagai penengah perundingan tersebut mengirimkan Sir Archibald Clark Kerr sebagai wakilnya.
Akan tetapi, sejak hari pertama perundingan sudah mengalami deadlock, karena masing-masing pihak sudah memiliki harapan yang berbeda.
Pihak Indonesia menginginkan adanya langkah nyata dalam upaya pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan pihak Belanda menganggap pertemuan di Hooge Veluwe hanya sekadar pendahuluan saja.
Akhirnya, perundingan di Hooge Valuwe ini belum menemui titik temu dan direncanakan untuk kembali mengadakan perundingan.
Baca Juga: Isi dan Tokoh dalam Perjanjian Roem-Royen
Bagi Indonesia, adanya Perundingan Hooge Veluwe memperkuat posisi Indonesia di depan Belanda.
Perundingan tersebut juga menjadikan masalah Indonesia menjadi perhatian di dunia internasional.
Nah, perundingan ini jugalah yang kemudian mengantarkan pada diplomasi internasional dalam Perjanjian Linggarjati.
"Perundingan Hooge Veluwe merupakan kelanjutan dari perundingan di Jakarta."
3. Pelaksanaan Perjanjian Linggarjati
Kegagalan Perundingan Hooge Veluwe membuat pemerintah Indonesia beralih pada tingkat militer.
Pemerintah Indonesia beranggapan perlu untuk melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatra.
Akan tetapi gencatan senjata yang masih dilakukan dengan cara lama dan gerilya tidak membawa perubahan.
Akhirnya, pemerintah Indonesia kembali melakukan jalan diplomasi untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda.
Pada awal November 1945, perundingan kembali diadakan di Indonesia, tepatnya di Linggarjati.
Pelaksanaan sidang-sidangnya terjadi mulai tanggal 11 sampai 15 November 1946.
Baca Juga: Latar Belakang Perjanjian Renville dan Isinya
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahrir, sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn.
Pimpinan sidang sekaligus penengah perundingan adalah Lord Killearn.
Hingga akhirnya Indonesia dan Belanda berhasil mencapai kesepakatan yang terdiri atas 17 pasal.
Naskah persetujuan tersebut kemudian ditandatangani oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta atau sekarang dikenal sebagai Istana Merdeka.
Setelah disahkan, beberapa negara memberikan pengakuan terhadap kekuasaan Indonesia, misalnya Amerika Serikat, Inggris, Mesir, dan Arab Saudi.
Perjanjian Linggarjati itu mengandung beberapa prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua pihak melalui serangkaian perundingan lanjutan.
Akan tetapi, perundingan lanjutan terhambat karena masing-masing pihak menuduh tentaranya melanggar ketentuan gencatan senjata.
Dokumen perjanjian itu pada akhirnya tidak membantu untuk memecahkan masalah bagi kedua negara.
Kondisi yang semakin buruk antara Indonesia dan Belanda membuat PBB mengeluarkan resolusi.
PBB mengeluarkan dua resolusi, salah satunya pembentukan sebuah tim untuk menyelesaikan masalah, di mana tim tersebut disebut dengan Komisi Tiga Negara.
"Perjanjian Linggarjati diadakan di Jakarta yang membuat adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda."
Baca Juga: Materi TWK CPNS, Beberapa Perjanjian Bersejarah bagi Bangsa Indonesia
Nah, itu tadi rangkaian Perjanjian Linggarjati yang dilakukan oleh Indonesia dan Belanda.
Coba Jawab! |
Kapan Perundingan Hooge Veluwe dilaksanakan? |
Petunjuk: Cek halaman 3. |
---
Sumber: Buku Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 2 Edisi Revisi 2017 karya Sardiman AM, dkk.