adjar.id - Sebelum memasuki masa orde baru dan berakhirnya masa orde lama, Indonesia pernah mengalami dualisme kepemimpinan nasional.
Dualisme kepemimpinan nasional ini terjadi saat Soeharto mengambil alih pemerintahan.
Sementara Soekarno di waktu yang sama masih menjabat sebagai presiden Republik Indonesia.
Peristiwa itu terjadi saat memasuki catur wulan pertama di tahun 1966, Adjarian.
Saat itu, pamor Presiden Soekarno mulai menurun karena tidak bisa memenuhi tuntutan rakyat.
Sementara Soeharto yang mendapat amanah sebagai pelaksana pemerintahan semakin mendapat simpati dan dukungan dari banyak pihak.
Lalu, bagaimana latar belakang dualisme kepemimpinan nasional?
Yuk, kita cari tahu!
"Dualisme kepemimpinan nasional terjadi menjelang masa orde baru dan sebelum berakhirnya masa orde lama."
Latar Belakang Dualisme Kepemimpinan Nasional
Pada awal tahun 1966, terjadi gejolak politik di Indonesia karena adanya protes keras terhadap Presiden Soekarno.
Kemudian pada 11 Maret 1966, para mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran di depan Istana Negara yang didukung oleh tentara.
Baca Juga: Dampak Positif Kebijakan Politik di Masa Orde Baru, Materi Sejarah Kelas XII Kurikulum Merdeka
Menteri atau Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto lalu meminta agar Soekarno memberikan surat perintah.
Tujuannya untuk mengatasi konflik yang terjadi jika diberi kepercayaan.
Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1966 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan di Indonesia.
Surat ini dikenal dengan istilah Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret.
Isi dari surat tersebut adalah berupa perintah Soekarno kepada Soeharto untuk melakukan hal-hal berikut:
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Lalu, adanya Ketetapan MPRS No.IX.MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966 tentang Pengesahan dan Pengukuran Supersemar semakin memperkuat dualisme kepemimpinan nasional.
Adanya ketetapan MPRS tersebut, Soekarno kemudian memerintahkan Letjen Soeharto untuk membentuk Kabinet Ampera.
Menurut Soekarno, Kabinet Dwikora sudah tidak bisa memenuhi Tiga Tuntutan Rakyat.
Baca Juga: Jawab Soal Perbandingan Pemilu Masa Orde Baru dengan Masa Orde Reformasi
Melalui TAP MPRS No. XIII tahun 1966, dibentuk Kabinet Ampera yang dipimpin oleh Presiden Soekarno bersama Letnan Jenderal Soeharto.
Hampir satu tahun dualisme kepemimpinan politik terjadi di dalam kabinet dan parlemen Indonesia.
Lewat perundingan yang keras, akhirnya pada tanggal 22 Februari 1967, Soekarno mengundurkan diri sebagai Presiden.
Ketua MPRS saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian melantik Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia.
Melalui TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968, secara resmi Soeharto dilantik sebagai presiden, tepatnya pada 27 Maret 1968.
Proses pelantikan tersebut terjadi dalam Sidang Umum V MPRS, Adjarian.
"Dualisme kepemimpinan nasional terjadi karena kondisi negara yang sedang mengalami gejolak politik di tahun 1966."
Nah, itulah latar belakang dualisme kepemimpinan nasional menjelang masa orde baru di Indonesia.
Coba Jawab! |
Apa ini dari Supersemar? |
Petunjuk: Cek halaman 2. |
---
Sumber: Buku Sejarah untuk SMA/MA Kelas XII karya Martina Safitri, dkk., Kemdikbudristek Tahun 2022.