Sejarah dan Isi Perjanjian Giyanti yang Memecah Kerajaan Mataram Islam

By Nabil Adlani, Rabu, 5 April 2023 | 12:30 WIB
Adanya Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta merupakan hasil dari Perjanjian Giyanti yang memecah Kerajaan Mataram Islam. (unsplash/Fakhri Labib)

adjar.id - Kerajaan Mataram Islam terbelah menjadi dua kerajaan karena adanya Perjanjian Giyanti.

Perjanjian Giyanti adalah perjanjian yang dilakukan VOC dengan Kerajaan Mataram Islam.

Pihak Kerajaan Mataram Islam diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Perjanjian Giyanti ini terjadi pada 13 Februari 1755 dan ditandatangani di Dukuh Kerten, Desa Jantiharo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Yuk, simak sejarah dan isi Perjanjian Giyanti berikut ini!

"Perjanjian inilah yang membuat Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta."

Sejarah Perjanjian Giyanti

Melansir laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Perjanjian Giyanti berawal dari adanya perpecahan karena konflik di keluarga Kerajaan Mataram Islam.

Konflik yang terjadi pada keluarga Kerajaan Mataram Islam melibatkan Susuhan Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.

Konflik ini terkait dengan diangkatkan pewaris tahta Kerajaan Mataram Islam, yaitu Pangeran Prabusuyasa yang bergelar Pakubuwono II.

Akan tetapi, Raden Mas Said sebagai keponakan meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki pamannya sendiri.

Alasannya ialah ayah Raden Mas Said, yaitu Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV.

Baca Juga: 7 Peninggalan Kerajaan Mataram Islam, Salah Satunya Menjadi Tempat Wisata di Yogyakarta

Sementara itu, alasan takhta diberikan kepada Pakubuwono II karena Pangeran Arya Mangkunegara sangat menentang kebijakan VOC sehingga harus diasingkan.

O iya, pertikaian juga dipicu karena keputusan Pakubuwono II memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.

Hal ini terjadi karena adanya campur tangan dari VOC ke dalam Kerajaan Mataram saat itu.

Pakubuwono yang naik takhta didukung oleh VOC membuat terjadinya perlawanan dari Pangeran Mangkubumi yang berkoalisi dengan Raden Mas Said.

Perlawanan keduanya dilakukan melalui perang gerilya di beberapa wilayah Jawa yang membuat Pakubuwono II dan VOC kerepotan.

Pada 20 Desember 1749, Pakubowono II meninggal dunia dan situasi tersebut dimanfaatkan Pangeran Mangkubumi untuk mengakui tahta Kerajaan Mataram Islam.

Akan tetapi, pengakuan Mangkubumi tersebut tidak diakui oleh VOC yang justru menunjuk Raden Mas Soejadi menjadi Pakubuwono III.

VOC merasa kesulitan saat menghadapi pemberontakan Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Hal ini yang kemudian membuat VOC melakukan taktik politik pecah belah untuk memisahkan dua pangeran tersebut.

Akhirnya, usaha VOC ini berhasil, Raden Mas Said kemudian menghentikan kerja samanya dengan Mangkubumi dan memilih untuk berjuang sendirian.

Nah, kemudian VOC melakukan perundingan dengan Mangkubumi dan berjanji akan memberikan setelah wilayah kekuasaan dari Kerajaan Mataram Islam.

Baca Juga: Daftar Raja Kerajaan Mataram Islam, Salah Satunya Memimpin Penyerangan ke VOC

Pada tanggal 22-23 September 1754, VOC membentuk perundingan antara Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Tujuannya untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan dari Kerajaan Mataram Islam, gelar yang digunakan, dan kerja sama VOC dengan kerajaan.

Perundingan inipun berhasil menyampai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

"Perjanjian Giyanti terjadi karena adanya taktik politik pecah belah agar VOC tidak kesulitan melawan pemberontakan Mangkubumi dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa."

Isi Perjanjian Giyanti

Isi Perjanjian Giyanti antara Mangkubumi dan Pakubuwana III, yaitu:

1. Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah dengan separuh dari kerajaan Mataram.

Hak kekuasaan diwariskan secara turun-temurun.

2. Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.

3. Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur.

Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.

4. Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.

Baca Juga: Berasal dari Satu Kerajaan yang Sama, Apa Bedanya Keraton Yogyakarta dan Surakarta?

5. Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.

6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746.

Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.

7. Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.

8. Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.

9. Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.

"Isi perjanjian Giyanti membuat Mangkubumi mendapatkan setengah daerah kekuasaan Mataram Islam."

Nah, itulah sejarah dan isi Perjanjian Giyanti yang memecah Kerajaan Mataram Islam, Adjarian.

Coba Jawab!
Kapan Perjanjian Giyanti ditandatangani?
Petunjuk: Cek halaman 1.

---

Sumber: Buku Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Edisi Revisi 2017 Karya Restu Gunawan, dkk.