adjar.id - Dalam masyarakat Jawa terdapat istilah yang digunakan untuk penyebutan bocah atau anak.
Dalam setiap keluarga memiliki jumlah anak yang berbeda-beda termasuk juga jenis kelaminnya.
Misalnya, keluarga a memiliki dua anak perempuan semua dan keluarga b memiliki satu anak laki-laki serta satu anak perempuan.
Dalam bahasa Jawa hal tersebut memiliki istilah penyebutan sendiri, Adjarian.
Anak keluarga a dalam bahasa Jawa disebut kembang sepasang dan anak keluarga b disebut kendhana-kendhini.
Nah, berikut beberapa istilah sebutan bocah atau anak lainnya.
1. Ontang-anting = Anak satu laki-laki.
2. Uger-uger lawang = Anak dua laki-laki semua.
3. Cukit dulit = Anak tiga laki-laki semua.
4. Unting-unting = Anak satu perempuan.
5. Gotong mayit = Anak tiga perempuan semua.
Baca Juga: Kumpulan Soal Bahasa Jawa Materi Sebutane Bocah atau Julukan Anak
6. Sarimpi = Anak empat perempuan semua.
7. Sendang kaapit pancuran = Anak tiga dengan urutan laki-laki, perempuan, laki-laki.
8. Keblat papat = Anak empat laki-laki perempuan.
9. Sepasar = Anak lima laki-laki perempuan.
10. Ipil-ipil = Anak lima, laki-lakinya hanya satu.
11. Padangan = Anak lima, perempuannya hanya satu.
12. Dhampit = Anak dua laki-laki dan perempuan lahir bersama.
13. Gilir kacang = Anak banyak dengan urutan bergilir laki-laki kemudian perempuan, dan seterusnya.
14. Anggana = Anak banyak, tetapi yang masih hidup hanya satu.
15. Sumarak = Anak banyak, tetapi jumlah laki-laki lebih banyak.
16. Pathok = Anak perempuan banyak dengan anak tengah laki-laki.
Baca Juga: 19 Sebutane Bocah atau Julukan Anak dalam Bahasa Jawa
17. Pancagati = Anak lima perempuan semua.
18. Lumpat kidang = Anak banyak tanpa urutan atau tidak bergiliran laki-laki kemudian perempuan.
19. Saramba = Anak empat laki-laki semua.
20. Pandhawa = Anak lima laki-laki semua.
Nah, itulah beberapa istilah sebutan bocah atau anak dalam bahasa Jawa.
Coba Jawab! |
Apa arti cukit dulit? |
Petunjuk: Cek halaman 1. |
Tonton video ini juga, yuk!
Penulis | : | Mumtahanah Kurniawati |
Editor | : | Rahwiku Mahanani |
KOMENTAR